[] Bilik Menulisku: Adit Kecil yang pingin sembuh... - part 1

Selasa, 28 Oktober 2014

Adit Kecil yang pingin sembuh... - part 1

We sometimes encounter people, even perfect strangers, who begin to interest us in first sight, somehow suddenly, at all once, before a word has been spoken 
~ Fyodor Dostoevsky

                                         Adit lagi minum susu, dengan susah payah.


Katanya, namanya Adit. Nama penyakitnya Hirschprung. Atau entah, saya kurang paham. Yang jelas, saya percaya bahwa somehow, saya punya suatu ikatan bathin dengannya. Yang menurut salah seorang teman, "Di suatu waktu lalu, di kehidupan sebelumnya, kamu punya utang nyawa sama dia." Nah loh!



Sore itu di sebuah Rumah Sakit, saya mengantri masuk ke ruang UGD. Bukan, bukan karena keadaan sedang gawat darurat (hwaduh, knock knock knock on wood), tapi karena dokter jaga (=dokter umum) berpraktek disana. Memang sih, agak 'seram' juga masuk kesana. Kadang ada pasien yang terburu-buru didorong masuk, dengan kepala (atau bagian tubuh lain) bersimbah darah. Kadang 'terpaksa' mendengar tangisan para keluarga yang menunggu di depan sambil berharap dan berdoa. Suatu waktu malah pernah melihat seorang petugas Kepolisian, yang berbicara serius sambil menenangkan seorang bapak, "Sekarang sabar aja dulu, nanti kalo udah ditangani dokter, kita usut lagi perkaranya." Tapi ya gimana lagi, saya terlanjur suka sama kualitas pelayanan disana....

Nah, di sore itu, beberapa saat setelah magrib, saya harus menunggu lamaaa sekali untuk dipanggil masuk. "Ada pasien gawat, Bu", jelas sang Resepsionis. Ya ya ya, jawaban klise (dan kenapa juga saya pake nanya, ya??). Saya menunggu lagi sambil memperhatikan Kekey berlarian gembira di lobby Rumah Sakit yang lapang itu. Tak lama kemudian, saya berpesan ke si Mbak asisten RT, "Ibu masuk dulu, titip Kekey ya!" setelah mendengar nama saya dipanggil.

Seperti biasanya saat ada pasien gawat, semua perawat di ruangan itu sibuk. Sibuk mengelilingi si pasien yang... eh tunggu, kok yang dikelilingi itu sebuah boks ya? Apa tuh isinya? Saya mendekat dengan penasaran. Astagfirullah... "Itu apa sih?", saya membathin, walaupun segera tersadar sendiri, "Tentu saja bayi, you silly!" Yah, itu memang, setelah ditilik-tilik dengan seksama, seorang bayi! Ya ampun... Kuruuuuss sekali! Saya pernah melihat yang 'seperti itu' beberapa kali, di tv! Tapi saat itu, semuanya terpampang jelas di depan mata secara live, tanpa editan atau iklan.

        Adit lagi bobo di box, dengan selang-selang yang menusuk di beberapa bagian tubuhnya

Saya terpaku. Mencerna baik-baik pemandangan itu. Baiklah, itu jelas bayi. Ada kepalanya, walaupun sangat besar. Mungkin karena badannya yang terlalu kecil. Kaki dan tangannya juga, alhamdulillah, lengkap. Walaupun terlihat seperti tulang-belulang tergeletak tanpa daya. Yang jika dicubit, hanya dapat terasa kulit tipis yang membungkusnya rapat. Dan badan itu... Ya Allah, kenapa tulang rusuknya bisa mencuat kemana-mana seperti itu? Apakah benar, tulang itu yang melindungi organ dalam seperti jantung, paru-paru, hati dan lainnya? Kenapa kelihatannya ringkih sekali? Dan dada yang naik turun dengan susah payah bernapas itu makin meneguhkan garis-garis kerapuhannya, seolah bisa terdengar suara "krek" darinya. Sungguh, saya jadi teringat saat masuk ke lab Biologi saat sekolah dulu. Saat kami iseng membongkar-pasang tulang-tulangnya Mr.Tengkorak, yang bunyinya kletek-kletek...

Tanpa sadar, air mata saya menggenang dipelupuknya. Tidak tega melihat, tapi sesuatu seperti menahan saya disana. "Itu apa, Mas?", tanya saya lugu. Sebuah kantung berwarna coklat menyembul dari balik selimutnya. "Itu cairan kotorannya, Bu.", jawab si perawat. "Ini beneran bayi, Mas?", saya bertanya lagi. And that was clearly a stupid question, dengan tatapan kesal sebagai jawabannya. Saya kan cuma ingin memastikan penglihatan, itu saja :'(

Saya lalu digiring ke sebuah ranjang, untuk segera diperiksa. "Tunggu disini aja ya, Bu!", perintah seorang perawat lain. Tapi itu tidak menghentikan kekuatan apa itu namanya, yang membuat saya HARUS TAHU keadaannya. Dari balik tirai pembatas ranjang-ranjang UGD, saya kembali menguping. Dan percakapan itu tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidup saya,

"Infusnya susah masuk. Venanya mengkerut!"
"Ya harus diusahakan! Soalnya dari rumah sakit disana, dia sama sekali belum masuk apa-apa!"
"Kata dokternya (disana) gimana?"
"Ini dokter (disini) juga lagi ngomong"

Saya mengintip, si dokter jaga memang sedang duduk gelisah di belakang mejanya, dengan telepon ditelinganya.

"Sudah berapa jam??" Jeda. "Owh, oke!"

Lalu ia bangkit, dan menginstruksikan perawat-perawatnya dengan istilah kedokteran yang tentu saja saya tidak mengerti artinya. Saya cuma bisa mengintip lagi, kearah si perawat yang sejak tadi mengurusinya, yang lalu menahan napas sambil mengelus-elus kaki mungil kurus itu. Akhirnya ada satu kalimat yang saya mampu tangkap, yang karenanya kemudian saya tak kuasa lagi membendung air mata.  

"Cup cup... Sakit ya? Sabar ya, nak..."

Dan tangisan itu, atau suara perpaduan antara mengikik, tersedak, serak, dan pelan -karena mungkin hanya segitu kemampuannya- meledak. Berbarengan dengan derasnya air yang turun membasahi pipi saya. Ya Allah, selamatkan dia!  


                                                                           
          Iis, Emak, Indra - Ibi, Nenek, dan Ayah Adit Kecil, 
          menunggu di depan ruang operasi


SKTM - Surat Keterangan Tidak Mampu
untuk keperluan administrasi

Besoknya, setelah semalaman tergugu sendiri memikirkan kelanjutan penanganan si Adit, saya menyempatkan diri kembali ke Rumah Sakit. Tapi...

Saya, "Yang pasien bayi di UDG tadi malem gimana, Mas?"  
Resepsionis, "Yang mana, Bu? Owh yang itu? Udah ngga ada, Bu..."

Seketika kaki saya lemas, seolah ikut keberatan menyangga beban kesedihan di dada. 

"Innalillahi wainnailaihi raji'un...", gumam saya dengan bibir bergetar. 
"Eh bukan meninggal, Bu! Ngga ada itu karena dibawa pulang."

Saya diam sebentar, sambil berkedip-kedip mata, mencerna.

"Dibawa gimana?"
"Ya... pulang. Ngga ada biaya katanya, Bu."
"Loh! Orang udah sekarat gitu kok dibawa pulang?! Kenapa ngga di-handle dulu?!...."

Watawatawatawatawata.... Saya 'nyerocos, menginterogasinya dengan pertanyaan yang menyudutkan sisi kemanusiaannya.

"Tapi, Bu...", gelagap si pemuda front liner itu membela diri.

Ya, tapi apa? Apa yang terjadi selanjutnya? What should I do? Tungguin saya edit kisah lanjutannya dulu yaa ^_^ 


It's good to remember that in crisis, natural crises, human beings forget for awhile their ignorance, their biases, their prejudices. For a little while, neighbors help neighbors, 
and strangers help strangers ~ Maya Angelou

4 komentar:

  1. Aah lemes juga kirain meninggal :D ditunggu selanjutnya maaak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, Mak Tian, Adit sampe sekarang sehat walafiat :)

      Hapus
  2. Betul, Mak. Aku pernah lihat yang begituan di ruang bayi rumah sakit. Nggak banyak selang sih, tapi tubuhnya kecil dan ringkih banget. Kayaknya lahir prematur dia. Nyesek gitu rasanya T__T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mak, nyesek... Namanya ibu, jadi otomatis ngebayangin gimana kalo anak sendiri yg begitu... :'(

      Hapus